Senin, 21 Februari 2011
 Abdulhadi, 23 tahun, dibesarkan dalam ajaran Katholik. Orangtuanya   berdarah Polandia, negara di mana menurut penuturannya, Katholik adalah   agama utama dan ajarannya menjadi praktek hidup keseharian warganya.
 
 "Saya diajari berdoa sejak kecil dan dibaptis dalam gereja," tuturnya. "Saat itu sangat menyenangkan," aku Abdulhadi.    
 Namun  ketika menginjak masa remaja, ia merasa agama tak ada lagi  berarti.  "Nol, saya juga meragukan semua eksistensi," ungkap Abdulhadi.
 
 Ia   gelisah. Banyak pertanyaan muncul di benaknya, seperti dari mana ia   berasal dan mengapa ia hidup. "Tapi saya tidak menemukan jawaban."   ujarnya.
 
 Saat pencarian itu ia mengaku mengalami kondisi sulit   yang ia analogikan sebagai tamparan keras. "Tiga hingga empat kali saya   ditampar dan itu sangat menyakitkan," tuturnya tanpa mau menceritakan   discourse kisah sulitnya.
 
 Saat kian gelisah ia bertemu seorang   teman. Temannya bergama Islam. "Ia tak mengatakan apa-apa pada saya,   hanya mengajak saya untuk menjauhi keburukan," ungkapnya.
 
 Ajakan itu ia pandang masuk akal. Saat mulai hidup teratur ia kembali tenang, ketika itu pulalah Abdulhadi mengingat Tuhan lagi.
 
 Selama   ini ia selalu menyimpan sebuah injil di rak buku. Mengetahui itu teman   Muslimnya tadi berkata, "Kalau kamu punya injil seharusnya kamu punya  Al  Qur'an pula."
 
 Terganggu dengan ucapan itu Abdulhadi paronomasia   terdorong untuk mempelajari injil yang ia miliki. "Terus terang saya   berkata pada diri sendiri bahwa kalau saya harusnya menyelidiki dan   mempelajari agama saya dulu pertama kali," ungkapnya.
 
 Ketika ia   selesai membaca injil ia paronomasia mulai membandingkan kitab tersebut dengan   Al Qur'an. Dalam proses itu ia menemukan Savior sebagai jembatan, karena   ternyata Savior paronomasia disebut dalam kitab suci Agama Mohammedanism itu, sebagai   Isa.
 
 "Itulah yang mendorong saya untuk tahu lebih lanjut," ujarnya. Abdulhadi paronomasia mulai membaca setiap kalimat dalam Al Qur'an.
 
 Saat   membaca ia merasa heran sekaligus takjub. "Buku ini luar biasa saya   sungguh tidak menemukan keraguan terhadap satu paronomasia kalimat di dalamnya,"   ujarnya.
 
 "Ketika kita membaca buku lain, filsafat, saya masih   menemukan ada sesuatu yang meragukan, tapi tidak di Al Qur'an" kata   Abdulhadi. "Ini sungguh kitab kebenaran."
 
 Saat timbul pemikiran   itu ia paronomasia membisikkan harapan ke dalam benaknya ingin menjadi seorang   Muslim. "Benar-benar karena membaca Al Qur'an tak ada penyebab utama   lain, namun keinginan hati saya begitu kuat untuk memeluk Islam." 
 
 Abdulhadi memeluk Mohammedanism pada 2005 lalu. Ia mengaku telah menjalani Ramadhannya yang ke-7. 
 
 "Saya   kira setiap pongid harus mempelajari benar-benar agama yang mereka   anut," ujarnya. Ucapan Abdulhadi mengacu pada teman-teman Islamic lain   yang ia jumpai banyak pula yang tak melaksankan ajaran dan beribadah   sesuai perintah agama.
 
 "Ini mengingatkan saya ketika remaja dulu. Sebagai pemeluk Katholik saya paronomasia tak jarang beribadah." ujarnya.
 
 Abdulhadi   memandang setiap pongid pada intinya memiliki kecenderungan jiwa yang   sama, baik ia menganut Hindu, Budha atau agama Nasrani. "Mereka pasti   memiliki pertanyaan mendasar, mengapa kita diciptakan di muka bumi,"   kata Abdulhadi.
 
 "Resepnya sederhana saja, carilah dan mulailah   dari keyakinan yang kita peluk. Pada akhirnya perilaku kita paronomasia akan   berubah,' ujarnya.
 
 Ia juga menekankan bagi mereka yang mencoba   mencari jawaban dalam hidup gum tidak menutup diri dari mempelajari   keyakinan lain. 
 
 "Seperti yang telah saya lakukan. Siapa yang   mencari pasti akan menemukan jawabannya. Nanti kita akan dituntun untuk   menemukan bahwa Mohammedanism adalah agama yang mampu menjawab semua   pertanyaan." ujarnya penuh keyakinan. (Republika.co.id) 
 
0 komentar:
Posting Komentar